Halo Sobat! | Members area : Register | Sign in
Pasang Iklan | Kontak | Profile | Link | Donasi | Sitemap
Artikel Terbaru :

Membangun Kemandirian Pada Anak

Ditulis Oleh Aulia Fitra Rezky Rasyid on 20 Oktober 2011 | 10/20/2011 08:13:00 PM

Dalam bahasa sehari-hari, istilah anak mandiri sering dikonotasikan dengan anak yang mampu makan sendiri atau mandi sendiri. Sebaliknya, anak yang tidak mandiri berarti anak yang segala aktivitasnya-makan, mandi, berpakaian, dan bermain-tidak mau sendiri; semua harus dilayani oleh lingkunganya.

Dalam pandangan Islam, anak yang mandiri adalah anak yang mampu memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan naluri (gharîzah) maupun kebutuhan fisik (hâjah al-'udhawiyah), oleh dirinya sendiri secara bertanggung jawab tanpa bergantung pada orang lain. Bertanggung jawab maksudnya adalah meletakkan segala tanggung jawab dalam kaitannya dengan orang lain sebagai bagian yang tidak terpisahkan darinya, yakni sama-sama mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhi (Taqiyuddin An-Nabhani, Hakikat Berpikir Tentang Hidup, hlm. 86-95).

Anak yang mandiri tidak berteriak minta diambilkan makan dan tidak rewel. Anak mandiri akan melayani diri sendiri dengan mengambil makanan sendiri. Jika terdapat anggota keluarga yang belum makan, anak mandiri tidak akan mengambil dan menghabiskan semua makanan, tetapi hanya mengambil bagiannya saja. Demikian halnya jika anak mengetahui bahwa ibunya sedang bekerja di dapur atau mengisi pengajian; ia akan beraktivitas sendiri atau dengan temannya tanpa mengganggu ibunya.

Sebenarnya, naluri setiap anak adalah berkembang untuk mandiri. Misalnya, mereka belajar untuk tengkurap, merangkak, berjalan, makan, dan minum sendiri. Dalam belajar berjalan, mereka berusaha sekuat tenaga untuk bisa walaupun sering jatuh dan menangis. Hal itu merupakan upaya untuk menjadi manusia yang mandiri. Hanya saja, lingkungan sering kurang tanggap dan kondusif terhadap proses kemandirian anak sehingga anak diperlakukan secara salah. Akibatnya, anak justru menjadi tidak mandiri.

Dampak Perkembangan Anak
Anak-anak yang berkembang dengan kemandirian secara normal akan memiliki kecenderungan positif pada masa depan. Dalam mengarungi kehidupan, anak mandiri cenderung berprestasi karena dalam

menyelesaikan tugas anak tersebut tidak bergantung pada orang lain. Pada akhirnya anak merasa mampu menumbuhkan rasa percaya diri. Anak mandiri yakin, seandainya ada risiko, ia mampu menyelesaikannya dengan baik. Dengan begitu, kelak anak akan tumbuh menjadi orang yang mampu berpikir serius, yakni senantiasa berusaha untuk merealisasikan sesuatu yang ditargetkan atau yang dimaksudkan (qashd, purpose) (An-Nabhani, Ibid., hlm. 130-137). Selanjutnya, ia akan tumbuh menjadi anak yang prestatif.

Demikian halnya di lingkungan keluarga dan sosial, anak yang mandiri akan mudah menyesuaikan diri (environment adjustment). Ia akan mudah untuk diterima oleh anak-anak dan teman-teman di sekitarnya.

Jika demikian, kecerdasan anak-baik dalam bentuk kecerdasan intelektual (intelligence quotion), kecerdasan emosional (emotion quotion), maupun kecerdasan spiritual (spiritual quotion)-akan terus berkembang.

Anak-anak seperti inilah yang kelak akan memiliki keberanian untuk melakukan amar makruf nahi mungkar sekaligus menjadi pemimpin di tengah-tengah kaum yang bertakwa.

Sebaliknya, anak-anak yang tidak mandiri akan berpengaruh negatif terhadap perkembangan kepribadiannya sendiri. Jika hal ini tidak segera teratasi, anak akan mengalami kesulitan pada perkembangan selanjutnya. Anak akan susah menyesuaikan diri dengan lingkungannya sehingga ia memiliki kepribadian kaku. Anak yang tidak mandiri juga akan menyusahkan orang lain.

Anak-anak yang tidak mandiri cenderung tidak percaya diri dan tidak mampu menyelesaikan tugas hidupnya dengan baik. Akibatnya, prestasi belajarnya bisa mengkhawatirkan. Anak-anak seperti ini senantiasa bergantung pada orang lain; misalnya mulai dari persiapan berangkat sekolah, ketika di lingkungan sekolah, mengerjakan pekerjaan rumah, sampai dalam pola belajarnya. Dalam persiapan berangkat sekolah, misalnya, anak selalu ingin dimandikan orang lain, dibantu berpakaiannya, minta disuapi, buku dan peralatan sekolah harus disiapkan orang lain, termasuk harus selalu diantar ke sekolah. Ketika belajar di rumah, mereka mungkin mau, asalkan semua dilayani; misalnya anak akan menyuruh orang lain untuk mengambilkan pensil, buku, serutan dan sebagainya.

Penyebab Anak Tidak Mandiri
Ada beberapa alasan yang menyebabkan anak tidak mandiri. Pertama: adanya kekhawatiran yang berlebihan dari orangtua terhadap anaknya. Misalnya, orangtua melarang anaknya mandi sendiri karena khawatir kurang bersih; melarang anak makan sendiri karena khawatir makanan tumpah. Segala kehawatiran lingkungan yang berlebihan akan menyebabkan anak tidak mandiri.

Kedua: orangtua sering membatasi dan melarang anaknya berbuat sesuatu secara berlebihan. Setiap anak beraktivitas, orangtua sering mengatakan, "jangan" tanpa diikuti argumentasi yang jelas. Pola doktrin seperti ini membuat anak ragu-ragu untuk mengembangkan kreativitasnya. Kondisi seperti ini akan mendidik anak untuk tidak berani membuat keputusan (decession making) dalam kehidupannya sehari-hari.

Ketiga: kasih-sayang orangtua yang berlebihan terhadap anak. Misalnya, karena sangat sayang, apapun keinginan anak dipenuhi. Bahkan karena protektifnya, anak dibiarkan saja "duduk manis", sementara orangtua atau pembantunya sibuk melayaninya. Pendidikan dengan model menjadikan anak sebagai raja kecil atau "the little king" dalam rumah merupakan penyebab anak tidak mandiri.
Agar Anak Mandiri
Untuk mencegah ketidakmandirian anak, atau agar anak mandiri, ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh orangtua sebagai berikut.

Pertama: memberikan pemahaman kepada anak sesuai dengan tingkat perkembangan (kemampuan) akalnya. Rasulullah saw., sebagaimana dituturkan Ali bin Abi Thalib ra., pernah bersabda:
Berbicaralah kepada manusia dengan sesuatu yang mereka ketahui. Apakah engkau suka jika Allah dan Rasul-Nya didustakan? (HR al-Bukhari).

Dengan demikian, pemberian pemahaman terhadap anak tentang arti pentingnya mandiri harus didasarkan pada argumentasi yang bisa dipahami anak dan berlandaskan akidah Islam. Tujuannya adalah agar anak menyadari pentingnya memenuhi kebutuhan sendiri secara bertanggung jawab sesuai dengan perintah Allah Swt.; bukan melakukannya karena kebiasaan saja, takut terhadap orangtua, atau takut gagal jika tidak mandiri. Penyadaran dengan pemahaman tidak cukup dilakukan sekali. Orangtua harus sabar untuk terus membimbingnya dan disertai praktik mandiri pada anak.

Kedua: berbuatlah secara bijaksana. Dalam hal tertentu, jangan memaksa anak untuk berbuat sesuatu ataupun membiarkan anak berbuat sesuatu, kecuali sesuatu itu tidak membahayakan dirinya dan tidak menyimpang dari tata aturan Islam. Rasulullah saw. bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra.:
Kamu semua disuruh untuk berlaku manis dan bijaksana, bukan berlaku kasar dan mengundang kesulitan. (HR al-Bukhari).

Dengan cara demikian, naluri anak untuk berkembang dapat tersalurkan; pola intelektualitas, emosionalitas dan kreativitas anak juga akan tumbuh. Berbeda halnya dengan anak yang senantiasa dibatasi (restricted), naluri perkembangan psikologinya bisa menjadi tumpul. Akibatnya, anak akan bergantung pada orang lain dan tidak berprestasi.

Ketiga: memberikan kasih sayang secara wajar; dalam perilaku, hadiah, maupun pujian. Rasulullah saw., sebagaimana dituturkan Abu Musa ra., pernah mendengar seorang laki-laki yang memuji seorang yang lain secara berlebihan. Lalu Beliau bersabda (yang artinya), "Kamu telah mencelakakan orang itu!" (HR al-Bukhari).

Kasih-sayang yang kurang ataupun berlebihan sama-sama memiliki dampak negatif bagi perkembangan anak. Jika kasih-sayang orangtua kurang, anak bisa menjadi "extrem kiri": bandel, kasar, jahat, dan sebagainya. Sebaliknya, jika anak 'kelebihan' kasih sayang, pola kepribadian anak akan menjadi "extrem kanan": bersikap manja sehingga malas merawat dirinya, selalu minta dituruti kemauannya, dan sering mengendalikan orangtuanya.

Keempat: memberikan cara pendidikan secara tegas kepada anak. Tidak dibenarkan jika orangtua bersifat "plintat-plintut" (inkonsisten) dalam mendidik anak. Di sinilah juga pentingnya ayah dan ibu seiring dan sejalan dalam mendidik anak. Ketidaksejalanan ayah dan ibu dalam mendidik anak akan membuat anak bersikap tidak konsisten sehingga sikap kemandirian anak tidak berkembang secara baik.

Kiat Melatih Anak Agar Berani dan Mandiri
Seperti kita ketahui banyaknya manfaat jika anak kita berani dan mandiri dan tapi bagaimana caranya agar anak berani dan mandiri? di tulisan ini kita coba membahas kiat melatih anak berani dan mandiri. Sebelumnya kita perlu memahami bahwa untuk melatih berani dan mandiri itu harus berjalan secara simultan, dan orang tua sebagai pelatih harus menyadari juga bahwa semuanya itu tidak bisa instan, memerlukan proses dan waktu. Nah apa yang harus dilakukan untuk melatih tersebut:
1. Menumbuhkan "basic trust"
Setiap anak sebenarnya sudah memiliki basic trust, tetapi ketika dia beranjak dewasa sebaiknya orang tua sepatutnya memberikan respon positif atas kebutuhan si anak. Hal ini dapat meningkat perasaan "trust" dari si balita dan balita pun akan merasa aman juga didalam kehidupannya. Nah dengan perasaan aman/secure, anak pun akan lebih berani didalam menghadapi tantangan yang ada dihadapannya. Mandiri pun akan ikut terbentuk juga ketika menyelesaikan persoalannya.

2. Memberikan "tanggungjawab" atau kepercayaan kepada anak
Ketika kita melihat/merasa anak kita melakukan sesuatu yang kita rasa dia mampu melakukannya, sebaiknya kita memberi kesempatan kepada dia untuk melakukannya sendiri. Misal ketika dia selesai makan dan ingin meletakkan piringnya di tempat cucian, kita bisa memberi kesempatan itu kepada dia dan jangan melarangnya jika kita merasa dia mampu serta jangan terlalu risau juga (contoh takut pecah karena harganya mahal). Memberi kesempatan dan kepercayaan kepada dia seperti itu dapat membuat anak berani dan mandiri juga.

3. Memberi contoh
Anak akan selalu mencontoh, hal ini juga berlaku ketika kita ingin anak berani dan mandiri. Jika orang tua memiliki kepribadian yang tertutup misal tidak suka melakukan hal-hal yang baru, takut menghadapi tantangan sebaiknya tidak untuk terlalu mengharapkan balitanya tumbuh dengan memiliki kepribadian berani dan mandiri. Misal kita ingin anak belajar berenang sedangkan orang tua-nya sendiri takut masuk air, hal ini tentu akan menghasilkan sesuatu yang maksimal. Dengan memberi contoh yang konkret kepada anak, anak akan memahaminya dan semakin mudah dia menirunya. Namun jika orang tua tidak atau belum bisa memberi contoh yang konkret kepada anak, sebaiknya jangan menunjukkan "ketakutan" dan "ketidakmandirian" kepada si anak, baik secara langsung atau tidak langsung.

4. Jangan memaksa
Semua yang kita lakukan untuk melatih keberanian dan kemandirian anak memerlukan waktu dan proses, hal itu dapat berkembang secara perlahan sehingga jangan kita memaksa si anak untuk menguasai segala hal yang diajarkan pada saat itu juga. Misal melatih anak untuk selalu bangun tidur langsung mandi, jangan memaksa anak saat itu juga untuk menguasai hal tersebut, perlu beberapa hari hingga lancar. Orang tua selalu dampingi dan mengingatkan si anak untuk melakukan hal yang benar tersebut. Tetapi perlu diingat agar jangan terlalu sering/keras mengkritik si anak karena hal itu akan membuat nyali/keberanian si anak akan turun/down.

5. Jangan terlalu membebani
Perlu diingat bahwa tahapan yang bisa dilalui oleh si anak adalah berkembang secara bertahap, sehingga stimulus yang diberikan kepada si anak harus disesuaikan juga dengan perkembangan si anak. Jika terlalu banyak stimulus akan membuat si anak bingung dan akan kehilangan keberanian untuk melakukan sesuatu.
6. Menetapkan batasan dengan tepat

Kita tetap harus memberi batasan apa yang boleh dilakukan oleh anak kita, tetapi larang yang diberikan itu harus dapat disertai dengan alasan yang logis. Misal ketika si anak melatih keberaniannya dengan bermain di luar teras rumah, sepatutnya orang tua tidak menakut-nakuti si anak dengan hal-hal yang tidak bisa difahami/logis oleh si anak, contohnya mengatakan s anak akan diganggu hantu atau digigit anjing, dan sebagainya. Ketakutan tersebut akan ditangkap oleh otaknya sebagai kenyataan yang benar dan si anak pun akan tidak berani keluar dari teras rumahnya, akhirnya akan mempengaruhi keberanian dan kemandirian dia.
Semoga saja, dengan beberapa kiat tadi, bisa sedikit banyak membantu.
By oyyaoyek

.:Artikel Terkait:.

lintasberita