Halo Sobat! | Members area : Register | Sign in
Pasang Iklan | Kontak | Profile | Link | Donasi | Sitemap
Artikel Terbaru :

Aku Janji, Besok Akan Berbuat Lebih Baik

Ditulis Oleh Keyoy on 07 Desember 2011 | 12/07/2011 11:00:00 AM

“Aduh!” teriak Rani kesakitan. Sebuah bola basket mampir ke kepalanya. Seluruh mata langsung memandang ke arah Rani. Belum tersadar apa yang sedang terjadi pada dirinya, Jodhi berlari menghampirinya.
 
“Maaf” kata Jodhi merasa bersalah. Rani mendelik kesal ke arah Jodhi. Mungkin kalau peristiwa ini terjadi pada Cherry sang ratu kecantikan, Cherry akan segera tersenyum centil dan manja pada Jodhi yang berperawakan tinggi dan ganteng. Tapi senyum centil dan manja tidak akan terlihat di wajah Rani. Sambil mendengus kesal Rani bergegas meninggalkan Jodhi.

Dina sahabat Rani berusaha tersenyum manis pada Jodhi lalu berlari menghampiri Rani. Jodhi mengangkat bahu lalu melanjutkan kembali permainan basketnya.

“Dia pikir kepala ini ring basket!” gerutu Rani ketika Dina sudah berdiri di dekatnya. Dina sedikit terengah-engah mengikuti langkah Rani yang panjang dan cepat.

“Tapi Ran, itukan kak Jodhi. Paling gak, kasih senyum, biar sedikit.” 

“Mentang-mentang dia paling ganteng di sekolah ini, jadi kalau dia salah, dikasih senyum? terus kalau bukan dia, kalau gak ganteng, baru kita marahin? Halah, sama saja kamu sama si Cherry dan teman-temannya.” sanggah Rani.

Dina menghentikan langkahnya karena tersinggung mendengar Rani menyamakan dirinya dengan kelompok Cherry yang hanya suka hura-hura.

Rani menghentikan langkahnya karena merasa Dina tidak lagi disampingnya dan menoleh ke arah Dina yang sedang cemberut menatapnya.

“Kenapa? marah? terserah kamu! Hak kamu kalau kamu gak suka kata-kata aku. Tapi aku juga punya hak untuk bicara.” Rani kembali berjalan meninggalkan Dina yang terdiam.

Ketika istirahat tiba, Rani berjalan sendirian menuju perpustakaan sambil memegang buku tulis dan sebuah pulpen disakunya. Dina masih marah padanya, sehingga Dina memilih menghabiskan waktu istirahat di kantin. Sedangkan Rani lebih suka menghabiskan waktu istirahat di perpustakaan.

Untuk menuju perpustakaan, Rani harus melewati kelas Jodhi yang berada persis disebelah perpustakaan. Saat Rani melewati pintu kelas Jodhi, tiba-tiba pintu terbuka dan mengenai Rani. Rani terhuyung beberapa langkah, sebuah buku tulis yang dipegangnya terlempar dekat kaki Jodhi. Jodhi yang sedang tertawa sambil membuka pintu terkejut melihat Rani lalu mengambil buku tulis Rani.

Rani berusaha menguasai diri untuk tidak jatuh lalu menghampiri Jodhi. Walau Jodhi berperawakan tinggi dan juga kakak kelas Rani, dirinya tidak gentar menghadapi Jodhi.

“Aku gak pernah punya masalah sama kamu. Kenapa hari ini aku sial banget karena ulah kamu.” bentak Rani sambil mengambil bukunya dari tangan Jodhi.

“Ma..maaf” kata Jodhi sedikit gugup. 

“Punya otak tuh dipakai. Pikir dulu sebelum bertindak. Umur lebih tua, tapi kelakuan kayak bocah!” bentak Rani kembali lalu meninggalkan Jodhi.

Cherry yang sempat memperhatikan kejadian itu tersenyum mendekati Jodhi.

“Gak usah dipikirin kak. Rani itu memang gitu orangnya. Memang kak Jodhi mau kemana? tanya Cherry centil. Jodhi melepaskan pandangannya dari Rani dan memandang Cherry

“Dia teman sekelas kamu?” tanya Jodhi ingin tahu. Cherry mengangguk manis.

“Sampaikan bahwa saya minta maaf ya.” kata Jodhi ramah. Cherry mengangguk manis.

“Kak Jodhi mau ke kantin ya? aku temani ya.” tanya Cherry centil.

Jodhi tersenyum, Cherry membalas senyuman Jodhi. “Maaf, tapi saya mau main basket lagi.” Cherry langsung cemberut mendengar jawaban Jodhi. Jodhi mengajak teman-temannya ke lapangan.

“Yuk Guys” Ajak Jodhi meninggalkan Cherry yang masih cemberut.

Di perpustakaan Rani sedang membaca buku fotografi. Saat ulang tahunnya nanti, papanya berjanji akan membelikan sebuah kamera semi profesional. Rani memang hobi memotret, tapi selama ini hanya menggunakan kamera saku atau kamera handphone. Karena hanya menggunakan kamera otomatis, Rani baru mempelajari tentang komposisi dan cahaya. Kini dirinya mencari dasar-dasar pengaturan fotografi, seperti diafragma, shutter speed, iso, white balance hingga mengatur manual fokus.

Sesekali tangan Rani menulis istilah-istilah pada buku tulisnya yang sempat terjatuh tadi. Rani membuat beberapa tabel dan kembali menulis dibukunya.

“Kok gak difotokopi aja Ran?” tanya Dina tiba-tiba. Tanpa mengangkat wajahnya, Rani sudah menebak, itu suara Dina.

“Kalau kita baca, kita pahami lalu kita tulis dengan bahasa kita, maka kita akan belajar tiga kali dalam waktu yang berdekatan. Tapi kalau kita cuma fotokopi, maka belum tentu kita akan belajar. Mungkin akan jadi onggokan kertas.” jelas Rani sambil terus menulis. Dina mengangguk.

“Tadi di kantin aku ketemu Cherry, kata dia, tadi kak Jodhi minta maaf sama kamu” jelas Dina

“Sst..” Rani menunjuk kertas bertuliskan ‘Jangan Berisik’. Dina menghela nafas. Tak lama bel berbunyi. Rani menutup buku tulisnya, lalu mengembalikan buku fotografi yang dibacanya ke rak.

“Gak dipinjam saja mbak?” tanya pak Bejo ketika Rani akan keluar perpustakaan. Rani tersenyum

“Gak usah pak, biar saya rajin kesini. Kalau saya pinjam, nanti saya baca terus-terusan, malah gak ngerti. Kalau sedikit-sedikitkan, insya Allah ilmunya masuk pak.” jelas Rani. Pak Bedjo tersenyum maklum. Rani merupakan sedikit murid yang menghabiskan waktunya di perpustakaan. Bacaan yang dipilih Rani bukan merupakan pelajaran sekolah, tetapi pengetahuan umum, istilah kedokteran, penyakit, kisah nyata dan lain-lain.

“Kamu kelihatannya benci sekali sama kak Jodhi ya?” tanya Dina setelah mereka keluar dari perpustakaan. Rani menoleh ke arah Dina bingung.

“Kok kamu bisa ngomong gitu?”

“Iya, waktu di perpustakaan tadi, kamu sepertinya gak mau ngomongin dia.”

“Oh, itu. Gak penting tau ngomongin dia atau siapapun. Emangnya dia juga ngomongin kita? Enggak kan? Kita kan bukan termasuk cewek-cewek yang jadi bahan omongan para cowok. Jadi untuk apa kita ngomongin mereka.”

“Lama-lama aku ubanan kalau debat sama kamu”
 
“Keren kan, biar kamu gak repot ke salon untuk mencat rambutmu menjadi pirang”

“Dasar!”

Malam hari, di kamar Rani yang bernuansa hijau. Rani membaca buku pelajaran. Tiba-tiba pikirannya kembali pada pertanyaan Dina. “Kamu kelihatannya benci sekali sama kak Jodhi ya?”. ‘Hm, apa iya ya? aku benci dia. Padahal selama ini aku gak pernah ngobrol sama dia, gak pernah ada kegiatan bareng. Apa yang bikin aku sebel sama dia ya? apa karena dia paling ganteng? Kalau dipikir-pikir, kak Jodhi gak pernah bersikap sok kegantengan. Tapi kenapa aku sewot sama dia? Dulu Rino juga pernah gak sengaja melempar bola dan kepalaku jadi sasaran, tapi aku bisa maafin dia. Kenapa sama kak Jodhi gak bisa?’

Rani memukul kepalanya sendiri untuk menghentikan pertanyaan-pertanyaan konyolnya lalu berusaha konsentrasi belajar hingga tertidur sambil memegang buku pelajaran.

Pagi-pagi sesampai Rani di sekolah, Rani melihat Jodhi sedang bermain basket. Tidak mau peristiwa kemarin terulang kembali, Rani memilih jalan memutar. Jodhi sempat melihat bayangan Rani, lalu melempar bola ke arah temannya, kemudian berlari ke arah Rani.

“Hei, kamu. Saya minta maaf” kejar Jodhi. Rani tidak menoleh mempercepat langkahnya. Jodhi menarik lengan Rani. Rani berusaha melepaskan diri dan melotot kearah Jodhi.

“Ma.. maaf.. soalnya tadi kamu saya panggil tidak menoleh.”

“Memang siapa nama saya?” tanya Rani

“Hm… aduh.. maaf, saya lupa.”

“Kalau memang kamu tidak tahu nama saya, artinya kamu bohong telah memanggil saya. Seingat saya, kamu hanya teriak Hei Kamu. Saya pikir, seruan itu bukan untuk saya, karena tidak ada kata-kata memanggil nama saya. Nama saya bukan kamu. Permisi.” Rani bergegas meninggalkan Jodhi. Jodhi membalikkan badan dan kembali kepada teman-temannya.

Ketika istirahat tiba, Rani dan Dina berjalan menuju perpustakaan. Rani melirik kelas Jodhi yang sudah kosong. Rani menghembuskan nafas lega.

“Kenapa?”

“Lega. Kemarin saya hampir jatuh ketabrak pintu.”

“Kok bisa.”

“Kak Jodhimu itu buka pintu kencang-kencang, bukan pelan-pelan” jelas Rani sewot. Dina langsung tertawa.

“Oalah, pantes kamu kemarin kelihatan benci sekali sama dia. Ternyata dua kali kamu sial sama dia ya.” Rani hanya tersenyum menanggapi kalimat Dina.

Sampai di perpustakaan, Jodhi tiba-tiba mengulurkan buku fotografi yang kemarin dibaca oleh Rani.

“Nama kamu Angelina Maharani, dipanggil Rani. Kamu siswa kelas 1A, termasuk kesayangan seluruh guru-guru karena kamu pintar, kritis, tegas dan rajin. Kamu hobi ke perpustakaan daripada ke kantin. Saat ini kamu lagi belajar fotografi. Menurut kamu, jauh lebih efektif membaca di perpustakaan, memahami lalu menulis kembali di buku tulis kamu, dari pada kamu memfotokopi materi-materi ini.”

Rani tertegun mendengar uraian Jodhi, namun dirinya berusaha untuk tetap bersikap dingin. Rani melirik sebal kepada Dina, dirinya yakin bahwa yang memberi informasi tersebut adalah Dina. Hanya Dina yang tahu dirinya sedang belajar fotografi dan lebih suka menulis kembali daripada memfotokopi. Dina menatap ke arah Rani sambil cengar-cengir. Untuk menghindari protes Rani, Dina berjalan menuju rak novel.

Rani mengambil buku fotografi dari tangan Jodhi. Jodhi tersenyum senang karena melihat Rani sudah tidak galak seperti kemarin. Rani duduk dan melanjutkan bacaannya.

“Saya minta maaf ya Ran” Jodhi mengulurkan tangan. Rani tidak menggubris Jodhi, matanya tetap menatap ke arah buku, hanya tangannya yang terjulur menunjuk tulisan ‘Jangan Berisik’. Jodhi mengikuti arah yang ditunjuk Rani, dirinya mengangguk mengerti. Perlahan Jodhi meninggalkan Rani yang terlihat sibuk. 

“Kamu gak perlu kasih info tentang saya ke dia.”protes Rani ketika mereka 

sudah diluar perpustakaan.

“Lho, kok kamu nuduh aku begitu. Gini ceritanya. Kak Jodhi tanya sama teman-temannya tentang kamu, tapi gak ada yang tahu. Lalu kata teman-temannya, coba tanya sama aku, karena aku sahabat kamu. Nah, kak Jodhi deketin aku untuk tanya siapa kamu, ya aku jawab sesuai pertanyaan dia. Dia tanya, nama lengkap kamu, nama panggilan kamu, di kelas kamu gimana, kamu minatnya apa. Masak aku jawab gak tau. Aku kan sahabat kamu, masak gak tau apa-apa tentang kamu.”

“Justru karena sahabat aku, kamu gak bisa kasih sembarang info ke orang lain. Kalo dia itu teroris gimana?”
“Kamu nih kok aneh sih, kalau dia tanya rumah kamu, telp kamu, nama orang tua kamu, tanggal lahir kamu, baru aku curiga. Dia gak tanya identitas kamu yang lain. Kamu nih aneh, orang mau minta maaf gak dikasih. Jangan sampai orang muak sama tingkah kamu yang sok kritis itu.” Dina langsung meningggalkan Rani. Dina sebenarnya orangnya lembut, hanya dia sebal melihat tingkah Rani yang keterlaluan pada Jodhi. Rani terkejut melihat tingkah Dina yang tiba-tiba keras dan meninggalkannya. Rani berpikir, ‘apakah dirinya memang sudah keterlaluan terhadap Jodhi?’.

“Hai Ran.” Sapa Jodhi ketika Rani melewati kelasnya. Rani salah tingkah, antara mau tersenyum atau bersikap dingin. Akhirnya Rani tetap memilih bersikap dingin.

“Kamu ini aneh, orang mau minta maaf gak dikasih. Jangan sampai orang muak sama tingkah kamu yang sok kritis itu.” Kalimat yang diucapkan Dina terus terngiang ditelinga Rani. Rani berusaha untuk konsentrasi pada pelajaran, namun kalimat itu terus terngiang. Dina yang duduk sebelah Rani tidak memperhatikan kegelisahan Rani. Vanda, sahabat Cherry mencolek Cherry untuk memperhatikan Rani. Vanda dan Cherry tertawa kecil.

Pulang sekolah, tanpa mengganti seragam sekolah, Rani langsung tidur dikamarnya. Hingga malam, Rani tidak keluar kamar untuk makan malam. Mama Rani yang saat itu baru pulang kerja, mendapat laporan dari pembantu kalau Rani belum makan siang. 

“Rani sayang, bangun, sudah malam. Kamu belum makan dari siang kan nak.” mama Rani mengetuk pintu kamar Rani dengan lembut.

Sayup-sayup Rani mendengar suara mamanya. Masih memejamkan mata, Rani menggeliat dan terbangun. Rani terkejut melihat dirinya tertidur masih menggunakan seragam.

“Iya ma” Rani membuka pintu. Mama Rani terkejut melihat putrinya terlihat berantakan.

“Ada apa sayang, gak biasanya kamu begini. Makan dulu ya, baru cerita sama mama.”

Rani mengangguk dan berjalan ke arah meja makan. Di meja makan, sudah menunggu papa dan kedua abangnya. Sepanjang makan malam, Rani hanya terdiam. Papa, Mama dan kedua abang Rani memperhatikan tingkah Rani. Mereka saling berpandangan. ‘Apakah putri mereka satu-satunya sudah mulai jatuh cinta? Apakah kini adik perempuan mereka mengalami patah hati?’

“Ma, Rani mandi dulu ya, lengket. Mama juga mandi dulu aja”

Mama Rani mengangguk. Rani berjalan meninggalkan meja makan diiringi pandangan bingung kedua orang tua dan abang-abangnya.

“Tumben Rani berantakan begitu.”

“Dia baru mau cerita nanti. Udah ah, mama mandi dulu. Ini para pria tukang gosip. Yang jadi bahannya keluarga sendiri.” mama berdiri dan meninggalkan Papa dan kedua anak laki-lakinya yang tersenyum geli.
Selesai membersihkan badan, mama masuk ke kamar Rani. Wajah Rani sudah terlihat lebih tenang. Rani mulai menceritakan kesialannya mendapat lemparan bola dari Jodhi, menubruk pintu kelas Jodhi, kekesalannya pada Jodhi, hingga kata-kata pedas yang dilontarkan oleh Dina. Mama Rani tersenyum menanggapi cerita Rani.

“Seingat mama, kamu juga pernah ya kena bola, tapi kamu gak semarah ini.”

“Betul ma, aku juga bingung, kok aku kesal sekali sama Jodhi.”

“Pada dasarnya memang kamu tidak suka dengan orang yang digandrungi, kamu cenderung menjauhi mereka. Kamu anggap mereka orang yang sombong dan gak patut menjadi teman. Tapi kamu nggak sadar, bahwa nggak semua orang seperti itu. Coba kamu rubah mindset kamu, bahwa tidak semua orang populer itu sombong dan bodoh. Orang yang tidak populer, tidak cantik, tidak ganteng juga ada yang bodoh dan picik. Mungkin Jodhi salah satu contoh yang populer tapi baik, besok-besok kamu akan menemukan Jodhi-Jodhi yang lain. Gak di sekolah, bisa di kampus, di tempat kerja atau di tempat-tempat lain.”

“Jadi apa yang dikatakan Dina benar Ma? lama-lama orang bisa benci sama aku?”

“Pada dasarnya, siapa sih orang yang suka dikritik. Semua orang suka dipuji. Kamu suka dipuji pintar, si A suka dipuji cantik, si B suka dipuji lucu, si C suka dipuji baik. Semua butuh pujian. Nah, kalau kamu sebentar-sebentar mengkritik orang, kamu akan terlihat seperti orang yang tidak puas, atau bahkan menutupi kekurangan kamu. Cepat atau lambat orang jadi nggak nyaman berteman sama kamu. Takut salah. Sudah saatnya kamu belajar diam. Belajarlah mengkritik dengan halus, agar tidak terjadi salah paham.”

“Mengkritik dengan halus?” tanya Rani bingung

“Pakai nada suara lembut, pilih bahasa yang baik.” mama Rani memberikan tips.
“Contohnya?”

“Apakah kamu sekarang ini merasa diberi saran, dikritik atau dinasehati?”

“Hm, diberi saran.”

“Seperti itulah sayang. Mama mengkritikmu dengan cara halus, sehingga kamu merasa seperti diberi saran. Mengkritik dengan halus, selain tidak membuat orang lain tersinggung, yang kita kritik pun akan lebih koperatif, dibanding kamu melotot dan membentak-bentak. Mama percaya Jodhi anak yang baik, karena dia memilih diam untuk meladeni kamu, bukan balik mencak-mencak. Tapi cara Jodhi belum membuat kamu sadar, kamu baru terusik setelah sahabatmu Dina, yang selalu diam, tiba-tiba berteriak tidak suka dihadapanmu”

“Ya.. ya aku mengerti. Menurut mama, bagaimana sikapku besok. Aku gak mau berubah menjadi centil seperti teman-temanku yang lain dalam menghadapi Jodhi.”

“Tidak perlu kamu merubah sikap. Bila dia menegurmu, berikan saja senyum sedikit. Itu sudah cukup. Mama yakin, Jodhi anak yang pintar. Sedangkan kepada Dina, kamu harus memulai meminta maaf. Mama tidak yakin, kamu sering mengucapkan kata ajaib ini.”

“Iya ma, aku memang jarang mengucapkan kata maaf” Rani tertunduk malu menyadari dirinya ternyata dirinyalah yang sombong, bukan orang-orang populer itu.

Rani memeluk mamanya. Rani bersyukur dapat memiliki mama yang dapat membuka pikirannya. Malam ini Rani berjanji, besok akan berbuat lebih baik.

Crpen ini ditulis oleh  Dessy Indah Nathalia

.:Artikel Terkait:.

lintasberita